“Keishaaaaaaaa.. Ayo, berangkaaaattt. Duh, lama amat sih!” teriak Rasha dari dalam mobil yang diparkir di depan garasi. Jam tanganku menunjukkan pukul 06.40 WIB, kulihat matahari bersinar dengan gagahnya.
“Iya, Shaaaa.. Sebentaaaarrr. Baru pakai sepatuuu…” teriakku dari teras.
“Rrrrrrrrr.. Tidur dah kayak kebo! Dibangunin susah banget!” omel Rasha.
“Iya, iyaaaa..” aku menyambar tas dan menghampiri Bapak dan Ibu.
“Pak, Bu, Keisha berangkat kuliah dulu ya. Itu si Rasha udah teriak-teriak nggak jelas,” pamitku kepada Bapak dan Ibu.
“Iya, hati-hati ya, Nduk,” sahut Ibu sambil mengelus rambutku. Setelah mencium tangan Bapak dan Ibu, aku pun menuju mobil tempat Rasha teronggok sambil mengomel.
“Pak, Buuuu.. Kami berangkat kuliah dulu yaaa…” pamit Rasha kepada Bapak dan Ibu.
“Iya, Nduuuk.. Hati-hati ya, nyetirnya jangan ngebut-ngebut,” sahut Bapak.
“Siap, Pak!” jawab Rasha sambil menjalankan mobil.
“Makasih, Pak Unang,” kataku kepada Pak Unang yang telah membukakan pintu gerbang. Mobil kami pun meninggalkan rumah secara perlahan.
Selamat pagi, Kehidupan!
“Udah tau ada kelas Pak Eka pagi ini, masih aja begadang! Susah pula dibangunin!” terdengar Rasha yang ternyata masih mengomel.
“Sha, aku telat bangun bukan gara-gara begadang. Tapi, gara-gara alarm HP-ku nggak bunyi. Biasanya, aku tetep bisa bangun walaupun begadang kan? Lagian aku begadang juga buat ngerjain tugas, dan ternyata habis tugas kelar, malah keterusan nggak bisa tidur,” jelasku panjang lebar.
Terdengar lagu Chainsmoker-Closer yang mengobati telingaku yang mendengung mendengar suara Rasha yang masih saja terus mengomel sepanjang perjalanan.
So, baby, pul me closer
In the back seat of your Rover
That I know you can’t afford
Bite that tattoo on your shoulder
……………………
“Pak Eka belum dateng, San?” tanyaku pada Santi.
“Kata Bagian Akademik, Pak Eka sakit, Kei. Tapi, katanya ada tugas. Ini baru nunggu fotokopi soal,” kata Santi.
“Yaelah! Tau gitu nggak perlu lari-lari!” omel Rasha.
Aku dan Rasha segera duduk di kursi yang paling depan karena hanya kursi barisan depan yang tersisa. Dan Rasha segera bergabung di grup sebelahnya untuk memulai ghibah pagi hari.
“Kok telat, Kei?” Keasyikanku mengamati kondisi kelas terbuyarkan oleh suara Anton yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku.
“Ya, ampun Anton! Ngagetin aja! Sejak kapan kamu duduk sini?!” tanyaku.
“Daritadi kok”, jawab Anton dengan wajah tanpa ekspresi.
“Oh, mmm.. Iya, tadi telat bangun,” jawabku sekenanya.
“Kei, sejak kapan ada makhluk bernama Anton?! Kok aku nggak pernah tau?” tanya Rasha.
“Daridulu satu angkatan sama kita kaliii.. Sering satu kelas bahkan,” jawabku.
“WHAT?! Kok aku nggak pernah lihat ya? Aku bahkan baru sadar ada yang bernama Anton di kelompokku setelah 3 kali ngerjain tugas kelompok, padahal dia bilang kalau selalu ikut ngerjain tugas. Kutanya anak-anak yang lain, ternyata hanya satu dua yang notice kehadirannya,” kata Rasha dengan ekspresi setengah tidak percaya.
Selain nama panjang dan hobinya bermain basket, tidak ada lagi informasi penting yang dapat diketahui. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu dia tinggal di mana. Rasha pernah mencoba membuntutinya, tapi selalu gagal karena selalu kehilangan jejak.
Jika ada yang bertanya, “Rumah atau kosanmu di mana sih, Ndre?” Andre hanya menjawab sambil tersenyum, “Di daerah utara.” Aku curiga, Andre adalah cucu Mak Lampir yang tinggal di bawah kaki Gunung Merapi.
Andre berkulit sawo matang dan memiliki wajah yang manis. Brewok yang malu-malu tumbuh di sekitar dagu dan rambut sebahu yang selalu diikat tidak membuat wajahnya terlihat dekil. Gayanya yang casual dengan celana jins dan snikers yang selalu menemaninya, ditambah dengan sosoknya yang misterius, membuat mahasiswi di kampusku menggilainya.
“Cowok bangeeeeetttt..” kalau kata Rasha, “Tatapan matanya juga tajam. Bikin meleleh deh, Kei!” Walaupun Rasha menggilainya, tapi aku merasa kurang nyaman dengan tatapan Andre kepadaku.
Seringkali aku mendapatinya sedang menatapku secara diam-diam, tapi bukan dengan tatapan laki-laki yang memperhatikan perempuan pujaan hatinya. Mungkin lebih tepat jika dikatakan mengawasi dibandingkan dengan memperhatikan.
Pernah suatu hari, ketika pandangan kami saling beradu, aku mendatanginya dan bertanya, “Kenapa, Ndre? Ada yang perlu diomongin?” Andre hanya menjawab, “Nggak,” dan meninggalkanku begitu saja. Ekspresiku kala itu seperti perempuan yang dicampakkan.
Selain Andre, aku merasa ada orang lain yang juga mengawasiku. Tidak hanya membuatku merasa tidak nyaman, kadang aku juga merasa terancam. Seperti yang kurasakan saat ini, entah sejak kapan, ada orang lain yang mengawasiku.
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, tidak ada yang mencurigakan, semua sibuk dengan dunianya. Kembali kulihat Andre, ternyata dia masih asyik dengan buku gambar dan headset di telinganya. Ah, mungkin hanya perasaanku.
Bersambung ke chapter selanjutnya…